“Ayah menemui sang Guru. Dia menerima Ayah dengan ramah, memberi Ayah kesempatan bertanya. Pertanyaan Ayah hanya satu, Dam. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari kita bisa menghela napas bahagia. Sang Guru terdiam lama, menggeleng, berkata bahwa Ayah memeberikan pertanyaan yang dia tidak tahu, tidak ada orang di dunia ini yang bisa menjawabnya. Ayah mendesah kecewa, kemana lagi harus mencari tahu. Sang Guru menatap Ayah lamat-lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh Ayah berusahan mencari tahu? Ayah berkata mantap, apa pun akan Ayah lakukan.

“Sang Guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan teraneh yang pernah Ayah tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia bermukim terdapat tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan itu butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh Ayah membuatkan danau ditanah luas itu. Astaga, Dam, benar-benar sebuah danau. Itu bukan pekerjaan mudah.” Ayah tertawa pelan, membuat napasnya sedikit tersengal.

“Sang Guru bilang, ‘Ketika kau berhasil membuat sebuah danau indah yang jernih bagai air mata, kau akan mendapatkan jawaban hakikat sejati kebahagiaan. Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan melihat apakah danau itu sudah sebening air mata.’

“Walau tidak puny aide apapun soal danau itu, Ayah mengangguk mandap. Ayah sudah menduga, definisi kebahagiaan sejati seharga pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku atau bertanya. Ayah berangkat, memulai pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untuk satu kampung.

“Kau tahu, Dam, tidak berbilang tanah yang harus Ayah pindahkan. Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari tenggelam. Ayah baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar lapangan bola. Pekerjaan Ayah baru separuh selesai. Ayah kemudian membuat parit-parit dari mata air yang ada di hutan, mengalirkannya ke lubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang ayah buat sebening air mata.

“Sesuai janji, Sang Guru datang menjenguk Ayah pada hari yang ditentukan. Sialnya, malam sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air di hutan menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak Sang Guru ke tepi danau mendesah kecewa. Lihat, danau yang Ayah buat jauh dari bening, berubah keruh. Sang Guru menepuh bahu Ayah. Sang Guru berkata, Ayah tidak boleh putus asa. Tahun depan Sang Guru akan kembali.

“Setelah memikirkan jalan keluarnya, Ayah memutuskan membuat saringan di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ide ini akan berhasil. Ayah juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit saja ada air keruh masuk, danau sekristal air mata langsung tercemar.

“Setahun berlalu lagi, Sang Guru datang menjenguk Ayah. Lihat, danau buatan Ayah indah tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas permukaan danau seperti nyata. Ayah tersenyum, menunggu jawaban atas pertanyaan Ayah. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu panjang, lantas menusuk-nusuk dasar danau. Ayah berseru, mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lantai danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk-nepuk bahu Ayah lalu berkata, ‘Kau pikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali.’”

Ayah diam sejenak, manarik napas pelan.

“Kau tahu, Dam. Ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang kurang dari danau Ayah? Dua tahun sia-sia. Baiklah, Ayah tahu apa yang harus Ayah kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Ayah masih berkutat menyingkirkan tanah-tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru datang, melihat dengan takzim Ayah yang sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, Ayah masih berkutat mengeduk tanah. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang-malam, akhirnya Ayah berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari sela-sela batunya. Ayah tertawa senang. Semua parit Ayah tutup. Danai tu sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.

“Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat danau yang bagai Kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali benung meski ada air dari parit yang bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru menapat Ayah, bertanya apakah Ayah masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah menggeleng. Hari itu Ayah sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk memahami sebuah kebiaksanaan hidup sederhana, Ayah tahu jawabannya.

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebalikanya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.

“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memeperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.”

 

Tere Liye – Ayahku (Bukan) Pembohong – hal. 288-292 – 2011

 

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d : 28)
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (QS. Al-Hadiid : 5)
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman : 55)